Menjadi Manusia yang Pandai Bersyukur
Saya agak lupa, tepatnya setahun atau dua tahun lalu diberi kesempatan hurmat di Haul Akbar Solo.
Saat itu saya berangkat dari Jogja menggunakan motor bersama teman hidup saya, Ning Umronah yang paling sabar dan bijak. Tanpa perencanaan matang, tidak tau akan bermalam di mana, tidak pernah ke Pasar Kliwon juga sebelumnya, tapi kami nekat berangkat.
Alhamdulillah ada teman lain yang kebetulan mau berangkat malam itu juga. Kami kumpul di komplek Candi Prambanan karena rekan kami yang agak ngeslin itu merupakan aseli warga Klaten, Ijat Jatmiko namanya, Agus Trisetyo yang baru selesai ngaji di pondoknya di mBantul juga ikut berangkat malam itu.
Lebih kurang pukul 8 malam kami meluncur menuju Solo menembus jalanan yang grimisnya blok-blokan.
Sampai di Solo sekitar pukul setengah sepuluh malam. Kami berhenti di pinggir jalan menunggu kedatangan bis yang membawa Nyonyah Novi Ratnasari dari kampung halamannya, Madiun. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu nyonyah di Terminal Tirtonadi, yang desainnya mirip bandara itu. lhoo.
Lama ditunggu sampai kami klekaran di lantai, akhirnya tiba juga sekitar jam berapa saya lupa, yang jelas itu tengah malam.
Setelah pura-pura marah dan ngomel-ngomelin nyonyah, kami menuju parkiran untuk mengambil motor dan segera menuju ke lokasi haul yang akan diselenggarakan ba'da Shubuh. Tapi ealah ternyata motor saya bocor. Bener-bener kempes pes pes. Padahal sebelum diparkirkan baik-baik saja.
Setelah bertanya-tanya dan mencari, alhamdulillah ketemu juga bengkel yang buka. Untung kejadiannya di kota, coba kalau di desa. Mana ada tambal ban buka tengah malam?
Lagi-lagi menunggu. Pertama nunggu Ijat, lalu nunggu Agus, kemudian yang paling lama nunggu nyonyah, eh ini motor ikut-ikutan pengin ditunggu. Lumayan lama juga menunggu ban selesai ditambal, eh ujung-ujungnya abang tambal bannya bilang bannya harus diganti.
Hmmmm.. kenapa nggak dari tadi aja bang? gumunku neng njero ati. Lumayan juga waktu yang terbuang.
Alhamdulillah ada teman lain yang kebetulan mau berangkat malam itu juga. Kami kumpul di komplek Candi Prambanan karena rekan kami yang agak ngeslin itu merupakan aseli warga Klaten, Ijat Jatmiko namanya, Agus Trisetyo yang baru selesai ngaji di pondoknya di mBantul juga ikut berangkat malam itu.
Lebih kurang pukul 8 malam kami meluncur menuju Solo menembus jalanan yang grimisnya blok-blokan.
Sampai di Solo sekitar pukul setengah sepuluh malam. Kami berhenti di pinggir jalan menunggu kedatangan bis yang membawa Nyonyah Novi Ratnasari dari kampung halamannya, Madiun. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu nyonyah di Terminal Tirtonadi, yang desainnya mirip bandara itu. lhoo.
Lama ditunggu sampai kami klekaran di lantai, akhirnya tiba juga sekitar jam berapa saya lupa, yang jelas itu tengah malam.
Setelah pura-pura marah dan ngomel-ngomelin nyonyah, kami menuju parkiran untuk mengambil motor dan segera menuju ke lokasi haul yang akan diselenggarakan ba'da Shubuh. Tapi ealah ternyata motor saya bocor. Bener-bener kempes pes pes. Padahal sebelum diparkirkan baik-baik saja.
Setelah bertanya-tanya dan mencari, alhamdulillah ketemu juga bengkel yang buka. Untung kejadiannya di kota, coba kalau di desa. Mana ada tambal ban buka tengah malam?
Lagi-lagi menunggu. Pertama nunggu Ijat, lalu nunggu Agus, kemudian yang paling lama nunggu nyonyah, eh ini motor ikut-ikutan pengin ditunggu. Lumayan lama juga menunggu ban selesai ditambal, eh ujung-ujungnya abang tambal bannya bilang bannya harus diganti.
Hmmmm.. kenapa nggak dari tadi aja bang? gumunku neng njero ati. Lumayan juga waktu yang terbuang.
Jogja - Pasar Kliwon, Solo dengan perjalanan yang normal mestinya hanya menempuh waktu 2 jam. Tapi ini? Berangkat ba'da maghrib dari Jogja dan baru bisa menginjakkan kaki di Pasar Kliwon menjelang Shubuh, sekitar jam 3 kalau tidak salah. Pasar Kliwon saat itu sudah penuh, mau duduk aja syusyah.
Hmmm...
Hmmm...
Setelah dipenggalih, dirasan-rasan dalam hati, saya berkesimpulan:
"Oh, inikah cara Allah membuat kami tetap terjaga di saat kami bingung tak tau harus tidur di mana???"
"Oh, inikah cara Allah membuat kami tetap terjaga di saat kami bingung tak tau harus tidur di mana???"
Tiba-tiba saya merasa bahagia menyadari itu semua. Dan intinya dibalik segala kejadian, pasti tersimpan hikmah.
Jangan menyerah untuk mengais hikmah, jika belum menemukan galilah terus sampai dapat agar kita menjadi manusia yang pandai bersyukur terhadap segala kondisi yang menimpa kita.
Jangan menyerah untuk mengais hikmah, jika belum menemukan galilah terus sampai dapat agar kita menjadi manusia yang pandai bersyukur terhadap segala kondisi yang menimpa kita.
Comments
Post a Comment