Analisis Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasar Malam: Gugatan Sosial
Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasar Malam merupakan sebuah novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka dan pernah dinyatakan terlarang pada tahun 1965. Pada tahun 1999, novel ini diterbitkan kembali oleh Bara Budaya. Kemudian pada April 2004, novel ini diterbitkan dan diluaskan persebarannya oleh Lentera Dipantara.
Sebagaimana kita ketahui, Pramoedya Ananta Toer adalah anggota Lekra yang beraliran realisme-sosialis, yaitu suatu aliran kesenian yang semangatnya adalah membela kepentingan rakyat. Satu ciri khas dari realisme sosialis yakni menempatkan seni sebagai media bagi tumbuhnya kesadaran. Novel Bukan Pasar Malam ditulis sebagai gugatan sosial sekaligus pembelaannya terhadap nasib pahlawan atau pejuang kemerdekaan yang tidak mendapat perhatian khusus dari negara.
***
Sinopsis
Novel Bukan Pasar Malam menceritakan tokoh Aku, seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahnya sakit. Ia pulang karena menerima surat dari pamannya yang memberitahukan bahwa ayahnya sakit keras dan memintanya untuk pulang. Ia sangat terpukul saat membaca surat tersebut. Kemudian ia bersama istrinya berangkat menuju Blora dengan berhutang kepada temannya. Sesampainya di Blora, ia melepas rindu kepada saudara-saudaranya lalu pergi ke rumah sakit untuk menemui bapaknya yang terkena penyakit TBC akut. Ayahnya adalah salah seorang pegawai pemerintah Belanda yang ikut berjuang melawan pemerintah di bawah tanah. Ia mengeluarkan sebagian besar gajinya untuk membiayai pergerakan perlawanan. Bahkan ia merupakan pemimpin para gerilyawan sebagimana dituturkan oleh sang dukun kepada tokoh Aku. Kemudian ia diangkat sebagai pengawas sekolah dan tidak berselang lama ia mengabdikan sisa hidupnya sebagai guru. Namun ia tertangkap oleh pasukan merah saat gerakan revolusi Pesindo dan dipenjara selama dua minggu yang membuatnya jatuh sakit. Sebagai seorang pejuang nasionalis, seharusnya ayahnya mendapatkan perawatan yang layak di sanatorium, namun ia malah dan tidak bisa masuk sanatorium karena ia bukan orang kaya. Keluarganya tinggal di rumah yang sangat reot, 25 tahun usia rumahnya. Ayah meskipun dalam kondisi sakit parah, jiwa sosialnya masih tinggi. Ia menyuruh anaknya agar memperbaiki sumur yang sering dipakai orang-orang sekitar dibanding memperbaiki rumahnya yang sudah tua.
Setelah lama tinggal di Blora, istri tokoh aku yang berasal dari Jawa Barat menyuruhnya agar segera pulang karena persediaan keuangan yang semakin menipis. Setelah mencoba mengatakan keinginan istrinya kepada ayah, ayah memberikan penawaran untuk tetap di Blora seminggu lagi.
Perawatan seadanya yang disediakan oleh rumah sakit ditambah ketidakpedulian para perawat terhadap pasiennya, menambah penyakit TBC yang diderita ayah. Akhirnya; perawatan ayah dipindahkan dari rumah sakit ke rumah, namun sakitnya bertambah parah dan akhirnya meninggal dunia.
***
Pendekatan yang digunakan dalam analisis novel ini yaitu pendekatan ekspresif, yaitu pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra, memfokuskan perhatiannya kepada sastrawan selaku pencipta karya sastra. (Wiyatmi, 2009: 82)
Penelusuran riwayat hidup pengarang sangat diperlukan dalam menggunakan pendekatan ekspresif karena riwayat hidup pengarang dapat menjadi sarana dalam upaya mengenali proses kreatuf atas kelahiran karya-karya sastranya.
Dalam bukunya, Eka Kurniawan (1999:25) mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Februari 1925. Ia adalah anak sulung dari sebuah keluarga Islam dan nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer (nama ini kemudian hanya disingkatnya menjadi 'Toer' saja dengan pertimbangan bahwa kata 'Mas' dalam 'Mastoer' dangat berwarna feodal), adalah seorang guru HIS (Holandsch Islandsche School) sebelum kemudian piindah mengajar di sekolah pastikelir IBO (Instituut Boedi Oetomo). Namun ketika krisis ekonomi melanda, serta datang tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah liar yang membuat IBO banyak ditinggalkan murid-muridnya yang tak sanggup lagi membayar atau merasa bahwa IBO tak menjanjukan masa depan karena tak diakui pemerintah, Pak Mastoer akhirnya kembali menjadi guru HIS walau yang terjadi kemudian tak lebih dari sekedar berstatus sebagai guru pengganti. Di kemudian hari, tindakan sang ayah ini sangatlah mengecewakan Pramoedya. Ia menganggap ayahnya telah berkapitulasi atau berkompromi dengan kekuasaan kolonial Belanda, meskipun ia dapat memahami hal tersebut mengingat kondisi yang ada. Aktivitas pak Mastoer sendiri sebagai tokoh pergerakan pada masa itu, cukup dikenal oleh masyarakat sekitar Blora. Pak Mastoer antara lain aktif berpolitik dengan menjadi anggota Partai Nasionalis Indonesi (PNI) pimpinan Soekarno.
Novel Bukan Pasar Malam diduga merupakan kisah nyata yang dialami sendiri oleh Pramoedya namun ditulis dengan sedikit perubahan. Novel ini menceritakan bahwa Ayah tokoh Aku yang merupakan seorang guru sekaligus pejuang nasionalisme yang gigih dan ikhlas dalam berjuang namun setelah kemerdekaan yang diperjuangkan tercapai, ia menderita TBC dan tidak mendapatkan penanganan istimewa dari negara. Besar kemungkinan yang diceritakan oleh Pramoedya adalah ayahnya sendiri, seorang guru yang pernah bekerja pada sekolah Belanda sekaligus tokoh pergerakan di masa itu. Dugaan ini diperkuat dengan kutipan novel berikut:
"Pembukaan sekolah ini sekalipun atas ongkos pemerintah Belanda, akhirnya kita-kita juga yang mengecap hasilnya. Dan pasukan itu menerima alasan itu. Sekolah tak jadi dibakar. Ya, tak sampai dibakar sampai sekarang. Akhir kelaknya tahu juga aku bahwa ayah Tuan itu tidak lain daripada salah seorang pemimpin pemerintahan gerilya--sekalipun jadi pengawas sekolah angkatan Belanda."
Bagi Pramoedya, yang menjadi esensi kepengarangannya selalu berupa martabat kemanusiaan, kemerdekaan dan keadilan. Hampir dalam seluruh karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonis yang hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, namun kemudian secara menyerah pada kenyataan yang ada (Kurniawan, 1999:16), seperti tergambar pada tokoh "Aku" dalam roman Bukan Pasar Malam. Tokoh Aku adalah seorang tentara, pejuang revolusi yang tangguh namun dapat menjadi lemah ketika melihat ayahnya sakit dan tak berdaya menghadapi kematian. Ciri khas tersebut juga tergambar dalam tokoh "Ayah" tokoh aku, adalah seorang guru, pemimpin gerilya yang keluar gigih, idealis, namun di masa tuanya ia terbaring tak berdaya karena TBC yang dideritanya.
Realisme sosialis Pramoedya tidak semata-mata dibangun melalui konsepsi teoritis yang diadopsi oleh pemikiran orang lain. Pramoedya sampai pada suatu kesadaran realisme sosialis yang berpihak pada perjuangan progresif, lebih banyak merupakan hasil kontemplasi perjalanan hidupnya yang hampir seluruh ceritanya tercitrakan dalam karya-karya sastra maupun tulisan-tulisan non-fiksinya. Di mana-mana, dalam kurun waktu yang berlainan, ia melihat ketidakadilan yang meluluh-lantakkan nilai-nilai kemanusiaan, yang diyakininya begitu merajalela. Dalam novel ini, Pramoedya menuangkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang ditemuinya pada masa revolusi. (Kurniawan, 1999: 172)
Dalam relaisme sosialisnya, Pramoedya sama sekali tidak mengingkari diri bahwa ada hubungan yang erat antara sastra dan politik. Menurutnya, politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan, begitu pula sebaliknya. Pernyataan ini sejalan dengan slogan Lekra yang berbunyii "Politik adalah Panglima". Dari sekian banyak karya sastra Pramoedya, hampir seluruhnya bernuansa politik-ideologis karena sastra sebagaimana halnya alat-alat lain, harus bisa menjadi alat yang ampuh, yang secara integral ikut memenangkan perjuangan orang-orang tertindas seperti buruh dan petani. Politik dalam sastra, lebih jauh, menampilkan adanya front, adanya perjuangan, dan adanya perlawanan terhadap siapapun yang mencoba melestarikan "penghisapan manusia atas manusia".(Kurniawan, 1999: 173)
Realisme sosialis secara ideologis berpihak pada kaum yang lemah, yang kalah dan yang tertindas. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis mulai Maxim Gorki, Lu Hsün, Georg Lukács, bahkan sampai Pramoedya Ananta Toer. Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, sastra kaum pekerja, yang hadir ikut berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata bersifat jahat terhadap kalangan pekerja. Dalam hal ini, realisme sosialis mengemban tugas penyadaran bagi rakyat pekerja tersebut, guna meniupkan spirit revolusioner dan progresif mereka, ke arah yang membebaskan. (Kurniawan, 1999: 177)
Novel Bukan Pasar Malam ini ditulis oleh Pramoedya untuk menyadarkan pembaca bahwa di tengah kemerdekaan negara ini, ternyata masih banyak daerah dan penduduk yang jauh dari ibu kota belum merasa merdeka karena masih minimnya perhatian darii pemerintah. Contoh kasus yang terdapat dalam novel yaitu minimnya air bersih, listrik belum masuk desa, minimnya fasilitas kesehatan, dan transportasi yang boleh digunakan hanyalah dokar.



Daftar Pustaka
Eká Kurniawan. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Reàlisme Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia
Pramoedya Ananta Toer. 2004. Bukan Pasar Malam. Jakarta: Lentera Dipantara
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher

Yudiono K.S. 2006. Peta Sejarah Sastra Indonesia. Semarang: Fasindo

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel tarian Bumi Karya Oka Rusmini

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis