Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Sentuhan Dakwah
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad
Tohari
Novel
Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel
ketiga dari Ahmad Tohari. Sebelum cerita ini diterbitkan sebagai buku (novel),
cerita ini pernah dimuat di Harian Kompas
sebagai cerita bersambung (17 Juli sampai 21 Agustus 1982), dan belum
banyak tanggapan terhadapnya. Namun, setelah diterbitkan menjadi buku pada
akhir 1982, novel ini mendapat banyak tanggapan yang beraneka ragam. Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan bagian
pertama dari sebuah trilogi. Novel keduanya berjudul Lintang kemukus Dini Hari (1985), dan yang ketiga berjudul Jantera Bianglala (1986).
Para
pengamat sastra sebagian besar menanggapi novel ini sebagai novel yang tampil
dengan latar yang amat kuat, memikat, dan khas. Sapardi Djoko Damono dalam
resensinya yang dimuat Majalah Tempo menyebut
novel ini sebagai "dongeng modern", sedangkan Umar Junus (Pelita, 23 April 1991) menyebutnya
sebagai novel yang di dalamnya mengandung imbauan terhadap "tugas suci
intelektual". Bahkan ada pula yang menafsirkannya sebagai novel yang
mengandung dakwah Islam, sebagaimana yang tercermin dalam pribadi tokoh Rasus.
Novel ini sudah pernah diekranisasi dengan peran utamanya Enny Beatrix pada tahun 1984 dan sudah pula diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa. (Mahayana, dkk, 2007: 317)
***
Sinopsis
Seorang
gadis cilik bernama Srintil menari di bawah pohon nangka dengan iringan suara
mulut dari ketiga teman laki-lakinya, Rasus, Warta, dan Darsun. Kejadian itu
diketahui oleh Sakarya, kakek Srintil. Sakarya berkesimpulan bahwa cucunya
telah kemasukan indang ronggeng, Srintil
telah terlahir untuk menjadi ronggeng atas restu arwah Ki Secamenggala yang
konon merupakan moyang semua orang di Dukuh Paruk.
Oleh
Sakarya, Srintil diserahkan ke suami-istri Kartareja yang telah bertahun-tahun
menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Oleh mereka, Srintil dididik untuk
menjadi seorang ronggeng. Ternyata untuk menjadi seorang ronggeng, Srintil
harus menjalani beberapa tahapan. Yang pertama, ia harus dimandikan di depan
sungkup makam Ki Secamenggala. Tahap kedua, ia harus menjalani prosesi bukak klambu, yaitu sayembara
memperebutkan keperawanan Srintil dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai
syaratnya.
Rasus, teman Srintil yang dulu
sering menemaninya bermain dan menari di bawah pohon nangka adalah pemuda yang
merasa paling dongkol dengan persyaratan tersebut. Bukan hanya karena cemburu
dan sakit hati, tapi karena ketidakberdayaannya sebagai anak berumur 14 tahun
untuk mengubah hukum yang sudah pasti terjadi di Dukuh paruk yang akan menimpa
orang yang dicintainya. Rasus hanya bisa mendengarkan pertengkaran antara Dower
dan Sulam dari belakang rumah Kartareja. Dower dan Sulam masing-masing merasa
pantas menjadi orang pertama yang ‘meniduri’ Srintil. Tanpa disangka, Srintil
keluar menuju belakang rumah Kartareja karena takut mendengar pertengkaran
Dower dan Sulam. Di sana, Srintil menemukan Rasus yang ternyata sedang
mengawasi rumah Kartareja. Srintil meminta Rasus untuk menggaulinya. Ia merasa
lebih baik jika keperawanannya diserahkan kepada Rasus daripada kepada Dower
atau Sulam yang tidak jelas itu. Rasus tidak bisa menolak permintaan Srintil
karena Srintil memaksa.
Setelah mendapatkan pengalaman aneh
itu, Rasus pergi meninggalkan Dukuh paruk. Ia merasa Dukuh paruk telah merebut
Srintil darinya. Kini Srintil telah menjadi ronggeng, menjadi milik orang banyak.
Ia mengasingkan diri ke Dawuhan. Namun, ia masih sering bertemu Srintil jika
Srintil datang ke Pasar Dawuhan, bahkan Srintil mengajak Rasus ke rumah yang
telah ia sewa. Srintil juga mengajak Rasus untuk menikah, tapi Rasus menolak.
Tinggal di Dawuhan membuat pandangan hidupnya mulai banyak berubah. Ia mulai
mengenal dosa dan belajar beribadah. Ia juga telah mengenal bagaimana kehidupan
perempuan-perempuan di luar Dukuh paruk, hal itulah yang mebyebabkan Rasus
menolak Srintil.
Di Dawuhan, ia bekerja membantu
rombongan Sersan Slamet. Ketika itu terjadi perampokan di Dukuh Paruk.
Rombongan Sersan Slamet yang menangani kasus tersebut, rasus pun ikut terlibat
di dalamnya, bahkan ia menjadi pahlawan dalam kasus itu. Kejadian itu membuat
Rasus datang kembali ke Dukuh Paruk. Selama beberapa hari ia tinggal di rumah
neneknya, Srintil pun menyediakan diri melayani Rasus selama di Dukuh Paruk.
Kembali Srintil mengajak Rasus menikah, namun Rasus tetap menolak. Ia memilih
pergi diam-diam ketika Srintil masih terlelap di rumah nenek Rasus. Dengan
begitu, Rasus merasa telah memberikan sesuatu yang sangat berharga untuk Dukuh
Paruk: Ronggeng. Rasus membiarkan Dukuh paruk tetap pada keasliannya, dengan
kecabulannya, dengan keterbelakangan dan kemiskinan yang diabadikan.
***
Ahmad
Tohari menghadirkan tokoh-tokoh dalam Ronggeng
Dukuh Paruk secara alamiah atau berciri hidup sehingga membuat
kejadian-kejadian yang ada dalam novel seperti nyata di depan mata pembaca.
Pelukisan tokohnya, terutama tokoh utama sudah meliputi tiga dimensi, yaitu
dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. (Wiyatmi, 2009: 30)
Rasus
sebagai tokoh utama digambarkan sebagai pemuda biasa yang tidak mempunyai
status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunyai status rendah,
kurang pengetahuan serta mudah rapuh, hatinya halus.
"Membayangkan
bagaimana Srintil tidur bersama seorang laki-laku, sama menjijikannya dengan
membayangkan Emak melarikan diri bersama mantri itu. Aku muak. Aku tidak rela
hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak dari Dukuh
Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk
menolak hal buruk yang amat dibencinya. Jadi aku hanya bisa mengumpat dalam
hati dan meludah. Asu buntung!" (Tohari, 2011: 53)
Meskipun
judul novel ini merujuk kepada tokoh Srintil, tapi di dalam cerita ini Srintil
bukanlah tokoh utama yang sesungguhnya, bisa dikatakan Srintil sebagai tokoh
utama kedua. Srintil digambarkan sebagai perempuan cantik berperawakan menarik,
digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya.
"Mulutnya mungil.
Cambang tipis di pipinya menjadi nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang
diperjelas dengan jelaga bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti
boneka." (Tohari, 2011: 18)
Tokoh
lain sebagai tokoh periferal atau tambahan dalam novel ini yaitu, Santayib yang
sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang; istri Santayib yang baik,
patuh, dan penyayang; Nenek Rasus yang penyayang, sabar namun sudah pikun;
Sakarya yang kolot, keras, namun penyayang; Nyai Sakarya yang penyayang,
penyabar; Kartareja yang kolot, keras, penyayang, dan licik; Nyai Kartareja
yang materialistis dan licik; Sakum yang optimis dan baik; Kopral Pujo yang
baik dan tegas; dll.
Alur
progresif (maju) dan regresif (mundur), keduanya sama-sama digunakan oleh Ahmad
Tohari dalam penulisan novel ini. Pada bagian awal, alur yang digunakan adalah
alur maju, namun ada bagian flashbacknya ketika Rasus menceritakan tentang
petaka tempe bongkrek yang menimpa sebagian warga Dukuh Paruk. Tahap penyituasian dalam Ronggeng Dukuh Paruk dipenuhi dengan
penggambaran latar tempat yang sangat detail dan jeli, sehingga pembaca akan
dapat merasakan suasana asli Dukuh Paruk hanya dengan membaca novel ini.
Konflik muncul ketika Sakarya merasakan bahwa Srintil telah kemasukan indang ronggeng, sehingga Srintil
diserahkan kepada suami-istri Kartareja untuk dididik menjadi ronggeng. Konflik
semakin meningkat ketika Srintil harus menjalani tahapan-tahapan sebelum
menjadi ronggeng, yaitu tahap bukak
klambu yang memperjualbelikan keperawanan Srintil. Cerita ini mencapai
klimaksnya ketika Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk setelah mendapatkan
keperawanan Srintil. Tahap penyelesaian
dalam cerita ini yaitu ketika ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk menangani
kasus perampokan di rumah Kartareja. Namun pada akhirnya Rasus pergi secara
diam-diam dari rumah neneknya ketika Srintil masih terlelap di rumah nenek
Rasus. Ia pergi setelah menolak ajakan Srintil untuk menikah.
Hampir
seluruh bagian cerita ini terjadi di
Dukuh Paruk. Hanya sedikit kejadian yang terjadi di luar Dukuh Paruk,
misalnya di Pasar Dawuhan tempat Rasus melarikan diri. Sedangkan latar waktunya sekitar tahun 1965.
Hal ini tercermin ketika srintil terlibat dalam kekalutan politik pada tahun
1965. Kehidupan sosial penduduk Dukuh Paruk yang primitif menjadi latar sosial
dalam penceritaan ini. Kemiskinan, kebodohan, dan kecabulan mereka abadikan.
Mereka juga belum mengenal agama, belum mengenal Tuhan. Hanya makam Ki
Secamenggala lah yang menjadi kiblat kepercayaan mereka.
"Sedikit
pun aku tak merasa bersalah berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang usiaku
mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi dosa. Kata
'dosa' sendiri baru kudengar setelah aku meninggalkan Dukuh Paruk".
(Tohari, 2011: 85)
Kearifan
lokal sekaligus latar budaya yang diangkat oleh Ahmad Tohari dalam novel ini
yaitu kesenian ronggeng yang menjadi kebanggaan penduduk Dukuh Paruk.
Tema
besar yang diangkat oleh Ahmad Tohari adalah tentang cinta, yaitu percintaan
antara Srintil dengan Rasus. Dari awal hingga akhir cerita, Ahmad Tohari lebih
banyak membicarakan tentang cinta yang dibumbui dengan kecemburuan dan rasa
ketidakmampuan untuk memiliki satu sama lain. Namun beberapa kejadian
menunjukan adanya nilai-nilai dakwah Islam yang ingin disampaikan Ahmad Tohari
melalui tokoh Rasus.
"Toh tidak
semuanya demikian. Yang tercantik di antara merka menutup diri di samping
ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang kulihat di luar Dukuh Paruk.
Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu.
Kata mereka, hanya laki-laki yang bersembahyang pula bisa berharap pada suatu
saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah.
Pelanggaran ketentuan itu adalah dosa besar." (Tohari, 2011: 86)
Judul
novel ini, "Ronggeng Dukuh Paruk" merujuk kepada salah satu kesenian
dan kebudayaan yang ada di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Novel ini secara
garis besar menceritakan bagaimana perjuangan dan cobaan seorang perempuan yang
menjadi ronggeng di daerah terpencil bernama Dukuh Paruk.
Ada
dua sudut pandang yang digunakan dalam penceritaan novel ini, yaitu:
-
Sudut pandang orang ketiga serba tahu
pada bagian atau bab 1.
"Rasus yang sejak
semula berdiri tak bergerak di tempatnya mendengar segala pergunjingan itu.
Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu merasa ada sesuatu yang terlangkahi
di hatinya. Ia merasa srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk. Rasus
cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka.
Tetapi Rasus tak berkata apapun. Dia tetap terpaku di tempatnya sampai pentas
itu berakhir hampir tengah malam. (Tohari, 2011: 20)
-
Sudut pandang orang pertama atau akuan
pada bab 2, 3, dan 4. Penceritaan pada bab-bab ini dilakukan oleh Rasus sebagai
tokoh Aku.
"Aku mengira
upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat yang terakhir sebelum seorang
gadis sah menjadi ronggeng. Ternyata aku salah." (Tohari, 2011: 51)
Atmosfer
atau suasana yang tercipta secara keseluruhan dari novel ini yaitu sebuah
kehidupan yang sangat primitif, yang sangat bertolak belakang dengan kemajuan
zaman.
***
Novel
ini sangat realistis, apa-apa yang diceritakan di dalamnya memang sering
terjadi di dunia nyata. Tidak hanya pada tahun 1965, di abad 21 pun
kejadian-kejadian itu masih dapat kita saksikan di dunia nyata. Misalnya
eksploitasi terhadap perempuan dan kurang meratanya pendidikan di plosok-plosok
Nusantara.
***
Daftar
Pustaka
Mahayana, Maman, dkk. 2007. Ringkasan dan Ulasa Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Rohmah, Faizah. 2012. Analisis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya
Ahmad Tohari.faizaturrohmah.blogspot.com.
Diunduh pada Jumat, 18 April 2014.
Tohari, Ahmad. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia
Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Comments
Post a Comment