Analisis Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah Karya Hamka

Pesan Dakwah dalam Novel
Di Bawah Lindungan Ka'bah Karya Hamka

Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah roman yang ditulis oleh  Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Hamka dikenal sebagai seorang ulama yang yang suka membuat roman. Ia bahkan pernah digelari “seorang alim pembuat roman”, yaitu gelar yang dimaksudkan untuk mengejek, sebab tidak lazim seorang ulama  mengarang roman. Menurut pemahaman sebagian orang, roman adalah bacaan dan karangan yang mengutamakan dunia saja. Tetapi sebenarnya tidaklah demikian, di dalam karangan-karangan Hamka, banyak diselipkan pemikiran-pemikiran yang tinggi, ajaran-ajaran keislaman dan sindiran-sindiran atas adat-adat masyarakat yang menurut Hamka tidak baik atau berlawanan dengan Islam. Roman atau novel ini termasuk karya sastra yang dilabeli sastra klasik Indonesia. Novel pendek ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 oleh Balai Pustaka.
***
Sinopsis
Novel karya Hamka yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah ini menceritakan kehidupan seorang pemuda yang bernama Hamid. Sejak berusia empat tahun ia sudah di tinggal oleh ayahnya. Masa kecilnya ia habiskan untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai penjual kue keliling. Hingga suatu hari ia bertemu dengan keluarga Engku Haji Jafar yang baik hati dan kaya raya. Karena merasa kasihan melihat tetangganya yang menderita maka keluarga Haji Jafar menyekolahkan Hamid ke HIS bersama Zainab, anak Haji Jafar. Tamat dari HIS keduanya kemudian melanjutkan ke Mulo sampai keduanya mendapat ijazah. Ternyata kebersamaan mereka membuat keduanya saling jatuh cinta, namun perasaan itu hanya mereka pendam dalam hati. Hamid menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang anak dari keluarga miskin yang dibiayai oleh keluarga Haji Jafar. Itulah kenapa dia hanya memendam rasa sukanya terhadap Zainab.
Setelah tamat dari Mulo baru mereka berpisah. Zainab menjalani pingitan sesuai adat di desa itu sedangkan Hamid melanjutkan sekolah agama ke Padang Panjang. Suatu hari kabar mengejutkan datang, Hamid mendapat kabar bahwa ayah angkatnya, Haji Jafar meninggal dunia dan tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal dunia. Dan sejak kematian ayah angkatnya, Hamid jarang bahkan tidak pernah menemui Zainab, hingga pada suatu petang, saat Hamid pergi jalan-jalan di pesisir, ia bertemu dengan Mak Asiah, istri Haji Ja'far. Pada pertemuan itu, Mak Asiah berharap agar Hamid bisa datang kerumahnya, karena ada suatu hal penting yang ingin dibicarakannya. Pada keesokan harinya Hamid datang ke rumah Mak Asiah, beliau meminta tolong agar Hamid mau membujuk Zainab untuk bersedia dinikahkan dengan kemenakan Haji Jafar. Meskipun permintaan itu bertentangan dengan isi hatinya, dia tetap melaksanakan apa yang diminta Mak Asiah, tetapi permintaan itu ternyata ditolak oleh Zainab dengan alasan ia belum ingin menikah.
Semenjak kejadian itu Hamid tidak pernah datang lagi, dia hanya mengirimkan surat kepada Zainab dan mengatakan bahwa ia akan pergi jauh mengikuti langkah kakinya berjalan. Surat Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu. Hamid berlayar sampai ketanah suci. Di negeri itu, ia bertemu dengan Saleh, temannya dulu semasa di Padang Panjang. Istri Saleh ternyata adalah sahabat baik Zainab. Dari surat Rosna yang dikirim untuk suaminya, Hamid mengetahui bahwa Zainab sakit dan ia sangat mengharapkan kedatangan Hamid. Zainab sendiri mengirim surat kepada Hamid dan mengatakan bahwa Hamid harus kembali, kalau tidak, mungkin akan terjadi sesuatu padanya. Dan benar saja seminggu setelah itu, Zainab menghembuskan nafas terakhirnya. Saleh yang mengetahui kabar meninggalnya Zainab dari istrinya pun tidak tega memberitahu kabar tersebut pada Hamid. Namun akhirnya atas desakan dari Hamid, Saleh memberitahukan kabar tersebut. Setelah mendengar kabar menyedihkan itu, Hamid tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya, dia jatuh lunglai, sehingga Saleh mengupah orang Badui untuk memapah Hamid melaksanakan tawaf. Ketika tawaf, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Di bawah lindungan ka'bah, ia berdoa agar dipersatukan dengan Zainab di akhirat,  kemudian Hamid pun meninggalkan dunia di hadapan Kabah, menyusul sang kekasih.
***
Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah yang berlatar di Padang dengan adat istiadat Minangkabau yang kental. Novel ini adalah gambaran idealitas Hamka sebagai ulama yang menggeluti bidang kesusastraan, bahwa karya sastranya tidak hanya kisahpercintaan biasa. Lebih dari itu, karya Hamka yang satu ini meskipun pendek namun mengandung filsafat-filsafat keislaman, sehingga novel ini termasuk novel yang bercorak dan beraliran Islam. Meskipun pendek, novel ini tetap tidak kehilangan keindahannya. Karena menurut H.B Jassin (1955:26), “Keindahan suatu karangan, bukanlah terletak dalam banyaknya kejadian-kejadian yang diceritakan, melainkan banyaknya kekayaan pikiran dan perasaan yang terlukis di dalamnya.”
Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ditulis oleh Hamka tidak hanya untuk membuat para pembaca terharu dengan kisah kasih tak sampainya, lebih dari itu, Hamka menggunakan novel ini untuk berdakwah tentang cinta dalam perspektif Islam. Novel ini cocok dibaca oleh para pemuda, terutama pemuda muslim yang sedang jatuh cinta karena novel ini mengandung pesan- pesan mendalam tentang cinta dalam perspektif Islam.  
Pesan dakwah atau filsafat-filsafat keislaman yang disampaikan Hamka dalam novel ini, antara lain:
"Anakku, . . . sekarang cintamu masih bersipat angan-angan, cinta itu kadang-kadang hanya menurutkan perintah hati, bukan menurutkan pendapatan otak. Dia belum berbahaya sebelum mendalam. Kalau dia telah mendalam, kerap kali -- kalau yang kena cinta tak pandai -- ia merusakkan kemauan dan kekerasan hati laki-laki." (Hamka, 1979: 35)
Dalam kutipan di atas, Hamka ingin menyampaikan pesan kepada pembaca agar hati-hati ketika jatuh cinta. Saat seseorang yang dicintai belum menjadi pasangan yang sah, seorang yang jatuh cinta harus pandai menjaga dan mengendalikan diri agar tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri dan bagi orang yang dicintai.
"Hanya kepada Tuhan ibu berharap, mudah-mudahan Dia memberikan anugerah dan perlindungan akan dirimu. Dia yang telah menanamkan perasaan itu ke dalam hatimu, Dia pula yang berkuasa mencabutnya. Mudah-mudahan itu hanya suatu khayal, suatu angan-angan yang kerap kali mempengaruhi hati anak muda-muda, yang dapat hilang karena pergantian siang dan pertukaran malam." (Hamka, 1979: 39)
Dalam kutipan di atas, Hamka ingin menyadarkan pembaca bahwa rasa cinta adalah anugerah dari Tuhan. Tuhan lah yang memberikan dan Tuhan pula lah yang kuasa untuk mencabut rasa cinta itu dari hati manusia. Anak-anak muda seringkali dihinggapi perasaan cinta, namun seringkali pula rasa cinta itu hilang dalam waktu yang relatif tidap lama. Oleh karena itu, jangan terburu-buru untuk mengambil tindakan sebelum yakin dengan apa yang dirasakan.
"...menurut aturan hidup di dunia, seorang gadis perlulah mengikut perintah dan kehendak orang tuanya, terutama kita orang Timur ini. Buat menunjukkan setia dan hormatnya kepada orang tuanya ia perlu menekankan segala perasaan hati sendiri." (Hamka, 1979: 47-48)
Berdasarkan kutipan di atas, Hamka ingin menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua meskipun dengan mengorbankan perasaan diri sendiri.
Kalimat tersebut di atas merupakan beberapa contoh pesan dakwah yang terkandung dalam novel ini. Cara penyampaian pesan dakwah ini menggunakan teknik dramatik sehingga membuat novel ini tidak terkesan menggurui pembaca.
***
                        Cerita ini terlalu singkat untuk dikategorikan sebagai novel. Meskipun demikian, cerita yang disajikan sudah dapat memberikan gambaran yang utuh tentang tema yang disajikan.
Daftar Pustaka
Hamka. 1979. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Bulan Bintang

H.B. Jassin. 1955. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Jakarta: Gunung Agung

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel tarian Bumi Karya Oka Rusmini

Analisis Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer

Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis